Oleh: Khaizuran
Krisis yang kembali membara di Sudan bukanlah fenomena baru, melainkan babak lanjutan dari tragedi kemanusiaan yang berlangsung puluhan tahun. Ribuan warga kembali mengungsi, pembunuhan massal dan pemerkosaan terus terjadi, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Sudan. (minanews..net)
Padahal Sudan merupakan negara dengan kekayaan alam luar biasa: negara terbesar ketiga di Afrika, mayoritas penduduknya Muslim, memiliki piramida lebih banyak daripada Mesir, Sungai Nil yang lebih panjang, dan menjadi salah satu produsen emas terbesar di dunia Arab. (khazanah..republika..co.id)
Ironisnya, di tengah limpahan potensi tersebut, rakyat Sudan justru terjebak dalam siklus konflik yang tak berkesudahan.
Jika ditelusuri lebih dalam, krisis Sudan tidak dapat dipahami hanya sebagai konflik internal atau pertentangan etnis. Konflik ini sarat dengan keterlibatan negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat dan Inggris, yang berupaya mempertahankan hegemoni dan pengaruh politiknya di kawasan Afrika dan Timur Tengah. Dalam percaturan geopolitik modern, Sudan bukan hanya negara biasa, melainkan wilayah strategis dengan sumber daya alam yang menggiurkan. Karena itu, negara-negara adidaya kerap mengendalikan dinamika politik Sudan dengan memanfaatkan negara-negara boneka, termasuk zionis dan Uni Emirat Arab, demi memastikan akses terhadap proyek-proyek ekonomi dan sumber daya alam Sudan tetap berada dalam genggaman mereka.
Lembaga-lembaga internasional dan berbagai aturan global sering kali dibentuk dalam bingkai kepentingan negara-negara besar tersebut. Alih-alih hadir sebagai penjaga perdamaian dan keadilan, banyak dari sistem ini justru berfungsi melanggengkan dominasi Barat terhadap negeri-negeri Muslim. Tak terkecuali Sudan, yang akibat hegemoni politik global itu terus dijadikan objek perebutan kepentingan. Kekayaan alam Sudan yang melimpah—emas, minyak, air, dan lahan subur—menjadi alasan utama mengapa negara ini tak pernah benar-benar dibiarkan bangkit menjadi negara yang stabil dan berdaulat.
Dalam konteks ini, penting bagi umat Islam, termasuk masyarakat global yang peduli keadilan, untuk menaikkan level berpikirnya. Krisis Sudan tidak dapat dipandang sebagai peristiwa terpisah, melainkan bagian dari pertarungan ideologi antara Islam dan ideologi-ideologi non-Islam yang mendominasi tatanan dunia saat ini. Umat perlu memahami bahwa konflik, penjajahan, dan eksploitasi yang terjadi di berbagai negeri Muslim, termasuk Sudan, adalah konsekuensi dari ketidakhadiran sistem yang mampu menjaga kepentingan umat secara menyeluruh.
Kesadaran ini membawa kita kepada satu kesimpulan penting: hanya sistem Islam yang komprehensif—Khilafah—yang memiliki mekanisme untuk menyelesaikan akar krisis politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa negeri-negeri Muslim. Dalam sejarahnya, Khilafah adalah institusi politik yang mampu mengelola sumber daya alam dengan adil, melindungi masyarakat, serta menjamin distribusi kekayaan yang menyejahterakan seluruh rakyat. Sistem Islam tidak mengenal privatisasi sumber daya alam oleh negara asing maupun perusahaan multinasional. Sebaliknya, sumber daya tersebut dikelola untuk kemaslahatan rakyat dan digunakan untuk menjaga kedaulatan negara.
Dengan hadirnya Khilafah, negeri-negeri Muslim dapat bersatu di bawah satu kepemimpinan yang kokoh, sehingga mampu melawan hegemoni dan intervensi negara-negara Barat. Persatuan ini bukan hanya idealisme utopis, melainkan sebuah keniscayaan historis yang terbukti mampu menghalau ancaman penjajahan dan menjaga kedaulatan umat. Tanpa persatuan tersebut, negeri-negeri Muslim akan terus terpecah, lemah, dan mudah dieksploitasi, sebagaimana yang terjadi di Sudan.
Oleh karena itu, umat Islam harus disadarkan bahwa perjuangan untuk menegakkan kembali sistem Khilafah bukan hanya persoalan politik, tetapi bagian dari manifestasi keimanan. Perjuangan ini merupakan ikhtiar untuk menghadirkan rahmat bagi seluruh alam melalui tata kelola yang adil dan berlandaskan syariat Islam. Kesadaran ideologis ini diharapkan mampu memotivasi umat untuk aktif dalam upaya membangun kembali peradaban Islam yang jaya dan berpengaruh.
Krisis Sudan adalah cermin bagi seluruh dunia Islam bahwa tanpa sistem yang melindungi, kekayaan alam hanya akan menjadi alasan bagi bangsa lain untuk menindas dan menguasai. Sudan bukan kasus satu-satunya, tetapi bagian dari rangkaian panjang penderitaan negeri-negeri Muslim akibat hegemoni global. Sudah saatnya umat Islam bangkit, memahami akar persoalan, dan menyadari urgensi perubahan sistemik yang dapat menyelamatkan umat dari keterpurukan.
Dengan menumbuhkan kesadaran ini, umat dapat menyimpulkan bahwa solusi terhadap krisis Sudan maupun negeri-negeri Muslim lainnya bukan sekadar gencatan senjata atau bantuan kemanusiaan sementara. Dibutuhkan perubahan mendasar berupa penerapan sistem Islam secara menyeluruh yang melahirkan keadilan, kemakmuran, dan persatuan. Hanya dengan itu, umat Islam dapat membebaskan diri dari eksploitasi dan kembali berdiri sebagai kekuatan global yang bermartabat.

Posting Komentar