Gamophobia: Takut Hidup Susah, Memilih Tidak Menikah

Penulis: Faridatus Sae, S. Sosio 

Alumni S1 Universitas Airlangga, Aktivis Dakwah Kampus 


Berdasarkan tren saat ini, 58 persen wanita Gen Z dan 56 persen pria Gen Z (lahir tahun 1997 dan seterusnya) akan menikah , dibandingkan dengan 56-67 persen generasi milenial (lahir tahun 1981-1996), 62-82 persen generasi X (lahir tahun 1965-1980), dan 77-96 persen generasi boomer (lahir tahun 1946-1964). Angka pernikahan khususnya menurun di kalangan usia 25 tahun ke bawah. Jika 60 persen perempuan dan 41 persen laki-laki kelahiran tahun 1960 menikah sebelum usia 25 tahun, kini hanya 4 persen perempuan dan 2 persen laki-laki kelahiran tahun 1998 yang menikah sebelum usia 25 tahun.

(marriagefoundation..org..uk


Fakta yang saat ini muncul di kalangan kaum muda yang lekat dikaitkan dengan kaum rebahan, generasi yang dianggap pemalas, terlalu nyaman dengan teknologi yang ada, dan kurang peduli terhadap masa depan bangsa. Gaya hidup yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar, ketergantungan pada media sosial, serta minimnya keterlibatan dalam isu-isu sosial dan politik semakin memperkuat anggapan ini. 


Belum lagi, tekanan hidup yang menghimpit seluruh generasi tua dan muda. Yang menjadikan generasi harus kerja lebih keras lagi agar mampu memenuhi kehidupannya. Hanya saja, generasi muda yang lekat dengan generasi yang lemah mental, generasi jompo di usia muda. Akhirnya tekanan yang harus dihadapi membuat dirinya menyerah tanpa sampai tujuan. 


Dari sini, akhirnya berpikir berulang kali dalam melanjutkan fase kehidupan setelah sekolah atau perkuliahan. Mencari penghasilan dan mampu mengambil tanggung jawab penafkahan melalui pernikahan. Dengan fakta sulitnya himpitan hidup sendiri yang mana untuk memenuhi kebutuhan hidup jomblonya saja sulit apalagi menambah menafkahi anak orang. Yang seolah hanya menambah beban dengan menikah. 


Inilah yang menjadikan generasi muda lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Karena tidak menikah juga akan tetap hidup. 

Biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi jadi alasan utama generasi muda menunda pernikahan. Jika dulu, anak muda menempatkan pernikahan sebagai tonggak kedewasaan yang harus dicapai. Bahkan, mereka yang sudah berumur 30-an, tetapi tak kunjung menikah kerap dikaitkan dengan ”keterlambatan” melepas masa lajang. Terlebih bagi perempuan, anggapan ”perawan tua” kerap kali melekat pada mereka yang tidak kunjung menemukan jodohnya. Namun, di era saat ini tampaknya pandangan tersebut mengalami pergeseran. 


Banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian, dan ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama. Narasi “marriage is scary” jm juga turut memperkuat ketakutan akan pernikahan. 


Ketakutan miskin yang itu tidak hanya dirasakan generasi muda tapi diraskan seluruh generasi ini akibat dari sistem Kapitalisme yang membuat biaya hidup tinggi, pekerjaan sulit, dan upah rendah. Tidak ada jaminan kebutuhan hidup terpenuhi di sistem hari ini. Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga beban hidup dipikul individu. 


Bentukan sistem hari ini menjadikan generasi memiliki gaya hidup materialis dan hedon tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Pernikahan dipandang beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan.


Negara yang menerapkan sistem hidup dari Pencipta sajalah yang memiliki aturan jaminan kebutuhan dasar rakyat individu per individu terpenuhi dan membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Pengelolaan SDA milik rakyat akan dikelola baik oleh negara dengan aturan dari Pencipta manusia Allah SWT, bukan diberikan swasta/asing. Sehingga hasilnya akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan mampu menekan biaya hidup.

Posting Komentar

 
Top