Islam Melindungi Gen Z dari Tekanan Media Sosial

Oleh: Santi Villoresi 


Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas. Namun, di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?


Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat. Standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z.


Banyak dari mereka merasa harus mengikuti tren tertentu agar diterima oleh lingkungan sosialnya, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan dan kenyamanan pribadi mereka. Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana ekspresi justru berubah menjadi ruang yang penuh tekanan di mana citra diri seseorang sering ditentukan oleh jumlah like, komentar, dan follower.


Dampak dari tekanan ini terlihat jelas dalam bagaimana Gen Z memandang diri mereka sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Lebih dari sekadar kebebasan berekspresi, gaya hidup Gen Z saat ini telah dipengaruhi oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis.


Banyak individu yang merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang pada akhirnya dapat memicu kecemasan, rendah diri, bahkan depresi. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya hanyalah ilusi. Alih-alih selalu bebas berekspresi, Gen Z justru semakin dikendalikan oleh tekanan sosial media yang menuntut kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.


Ternyata media sosial dapat memberikan dampak besar  yaitu ketidak puasan terhadap diri sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Standar kecantikan yang dipromosikan melalui media sosial mendorong remaja untuk membandingkan diri mereka dengan figur-figur ideal yang sering kali telah melalui proses penyuntingan atau filter digital. Akibatnya, banyak remaja merasa harus memenuhi ekspektasi ini agar dapat diterima oleh lingkungan mereka, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kondisi mereka yang sebenarnya.


Dari penelitian yang menunjukkan bahwa 70% remaja perempuan di Kabupaten Ciamis berusia 11-20 tahun memiliki citra tubuh dalam kategori sedang. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan terhadap penampilan fisik mereka. Artinya, tujuh dari sepuluh remaja perempuan dalam rentang usia tersebut merasa kurang puas dengan penampilan fisik mereka. Tidak hanya itu, tekanan untuk menampilkan citra diri yang "sempurna" juga membuat 60% remaja merasa tidak percaya diri dengan foto atau video yang mereka unggah di akun media sosial.


Dengan data yang menunjukkan bahwa mayoritas remaja mengalami ketidakpuasan terhadap citra tubuh mereka akibat perbandingan sosial di media, maka dapat disimpulkan bahwa tekanan dari standar kecantikan digital telah mengikis rasa percaya diri mereka. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, justru berubah menjadi sumber kecemasan dan ketidakamanan.


Selain Dampak pada citra diri, tekanan sosial dari media digital juga berkontribusi terhadap meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan Gen Z. Rasa cemas, stres, bahkan depresi sering kali muncul akibat tekanan untuk selalu aktif dan "sempurna" di media sosial. 

Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, dengan rincian 1% mengalami depresi, 3,7% cemas, 0,9% mengalami post-traumatic syndrome disorder (PTSD), dan 0,5% mengalami attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Selain itu, sebuah laporan hasil survei di 26 negara termasuk Indonesia menemukan penggunaan medsos membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.


Maka dapat disimpulkan bahwa tekanan sosial dari media digital berperan signifikan dalam memperburuk kesehatan mental remaja, bukan sekadar menjadi sarana ekspresi yang bebas.

Selain dampak terhadap kesehatan mental, tekanan ini juga berimbas pada cara Gen Z mengekspresikan diri di media sosial. Mereka tidak hanya merasa cemas, tetapi juga takut menyuarakan pendapat yang berbeda. Hal ini sering kali dibatasi oleh norma, tren, dan tekanan sosial, terutama ketakutan akan perundungan (cyberbullying).


Dari semua yang telah dibahas, jelas bahwa media sosial adalah bagai pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, platform seperti Instagram dan TikTok memberi mereka ruang untuk mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, tekanan sosial yang muncul justru sering membatasi kebebasan itu sendiri. Standar kecantikan yang nyaris mustahil, tuntutan untuk selalu tampil menarik dan sukses, serta kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain membuat banyak anak muda merasa cemas dan tidak cukup baik.


Alih-alih menjadi tempat berekspresi dengan bebas, media sosial justru menjadi sumber tekanan yang terus mengintai. Jadi, apakah Gen Z benar-benar bebas? Jawabannya tidak sesederhana itu. Kebebasan berekspresi di media sosial bisa menjadi ilusi jika terus-menerus diukur dari validasi orang lain.


Dengan kondisi seperti ini dapat kita katakan bahwa gen z adalah generasi yang lemah .

Ternyata penyebabnya adalah Sekularisme Liberalisme.

Paparan masif media sosial di kalangan generasi muda bukan hanya membentuk cara berpikir, bersikap, dan gaya hidup mereka, tetapi juga memengaruhi cara mereka memahami agama. 


Bisa kita lihat bahwa ruang digital tidak netral, karena didominasi nilai sekuler kapitalistik.

Positifnya ada activism glocal, mudah belajar, dsb, minus problem mental, inklusif-progresif, mempertanyakan agama-otentik, memiliki nilai sendiri yg beda dengan generasi tua

Belum lagi pergerakan yang cenderung pragmatis, mencari validasi, karakteristik digital native.

Di sinilah pentingnya untuk menyelamatkan generasi dari pengaruh hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik.

Tentunya dengan cara menyelamatkan mereka dengan mengubah paradigma berpikir sekuler kapitalisme , mereka mempromosikan budaya Barat melalui medsos, menjadikan generasi muda muslim membuang standar syariat. Mereka terjerat  kebebasan berekpresi demi mengejar kesenangan dan merusak karakter kepribadiannya sebagai muslim.


Pengaturan Media Sosial dalam Sistem Khilafah

Khilafah memiliki fungsi utama sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung/perisai). Hal ini disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Berdasarkan sabda Nabi ﷺ tersebut, seluruh kebijakan Khilafah dirancang untuk menjaga dan menyelamatkan generasi. Perlindungan ini tidak hanya berlaku di dunia nyata, melainkan juga mencakup ruang digital yang hari ini menjadi lingkungan hidup utama bagi anak muda. Dengan visi ideologis yang jelas, Khilafah akan memastikan bahwa setiap kebijakan digital, pendidikan dan informasi selalu berpihak pada penjagaan akidah, akhlak, dan intelektualitas umat.


Khilafah adalah negara independen yang tidak bergantung pada kekuatan asing, termasuk dalam bidang teknologi digital. Kemandirian ini memungkinkan negara untuk mengembangkan sendiri infrastruktur digital, perangkat lunak, keamanan siber dan teknologi kecerdasan buatan, semua ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim.


Pada dunia pendidikan, riset dan inovasi akan mendapat dukungan penuh dari negara. Teknologi akan menjadi alat penguatan umat, bukan instrumen penjajahan budaya maupun politik. Dalam pengelolaan ruang digital, negara akan melakukan penyaringan ketat terhadap seluruh konten yang merusak akidah, kepribadian Islam, dan struktur sosial umat menggunakan teknologi yang paling mutakhir. Ruang digital diarahkan menjadi sarana pendidikan Islam, penyebaran dakwah, dan media propaganda negara untuk menunjukkan kekuatan peradaban dan ketangguhan umat Islam kepada dunia.


Penegakan syariat Islam secara Kafah akan menghilangkan akar-akar kerusakan yang saat ini subur di ruang digital, baik pornografi, kriminalitas, penipuan, maupun liberalisasi. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan Khilafah bukan sekadar kewajiban syar’i, melainkan juga kebutuhan mendesak demi menyelamatkan generasi dari kehancuran peradaban modern.


Pemuda Muslim, Saatnya Menjadi Pelopor Perubahan

Rasulullah ﷺ bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum datang masa tuamu.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).


Generasi muda memiliki potensi luar biasa. Kekuatan fisik, puncak vitalitas, energi, dan mental. Rasulullah ﷺ membina para sahabat dengan ideologi Islam sehingga terbentuk sosok tangguh seperti Ali bin Abi Thalib yang rela tidur di ranjang Nabi saat malam Hijrah (usia belasan tahun). Usamah bin Zaid memimpin pasukan besar pada usia 18 tahun. Para pemuda Ashabul Kahfi yang berjuang menolak sistem kufur.


Mereka semua bukan cerita fiksi atau superhero dalam film Marvel. Mereka adalah manusia teladan, role model bagi generasi era sekarang. Sudah saatnya pemuda muslim hari ini menyadari bahwa mereka bukanlah objek penjajahan digital, melainkan subjek perubahan menuju kebangkitan Islam, sebagaimana generasi pendahulu mereka.

Waalahu alam bishawab

Posting Komentar

 
Top