Oleh : Ria Yasmin
(Aktivis Muslimah)
Derita nyata di Sumatra
Tangisan dan jeritan memenuhi udara kala banjir bandang dan longsor menghempas rumah-rumah, menenggelamkan harta dan memisahkan mereka dari sanak saudara. Ketakutan namun juga kepasrahan berkelumit dalam benak tiap-tiap jiwa yang berjuang menyelamatkan diri sendiri maupun orang terkasih. Mulut berdoa keselamatan namun juga mengutuk dalang dibalik gundulnya hutan sehingga menyisakan bencana bagi mereka. Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh luluh lantak akibat banjir bandang dan tanah longsor.
Menurut data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal akibat bencana ini tercatat 844 jiwa, sementara ratusan lainnya hilang, luka, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi.
Kerusakan fisik pun meluas, ribuan rumah rusak berat hingga ringan, jembatan putus, fasilitas umum dan infrastruktur hancur, menghambat evakuasi dan bantuan bagi korban.
Dampak ini menunjukkan bahwa tragedi ini bukan sekadar angka, melainkan penderitaan nyata jutaan manusia yang kehilangan keluarga, rumah, pekerjaan, dan lingkungan hidup.
Kapitalisme: Kebijakan rusak dan perusak lingkungan
Musibah kali ini tidak bisa semata dianggap sebagai “ujian alam” yang tak terhindarkan. Ia adalah buah dari kejahatan sistemik terhadap lingkungan, perusakan alam yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi melalui kebijakan negara: pemberian hak konsesi lahan, izin sawit, tambang terbuka, ekspansi perkebunan dan pertambangan, serta regulasi seperti undang-undang sektor agraria/pertambangan. Misalnya UU Minerba yang melonggarkan eksploitasi sumber daya, ditambah dengan UU Cipta Kerja yang mempermudah perizinan korporasi.
Dalam sistem sekuler dan kapitalis, negara dan pengusaha seringkali berkolusi untuk mengeksploitasi alam demi profit, mengabaikan hak milik rakyat atas tanah, lingkungan, dan kehidupan yang layak. Semua atas nama “pembangunan” dan “pertumbuhan ekonomi”.
Akibatnya, ketika hujan deras turun, wilayah yang dulu hutan atau kawasan resapan air telah berubah menjadi lahan produksi, daya tampung alam turun drastis. Hutan yang seharusnya menyerap air dan menjaga stabilitas tanah telah hilang, sehingga terjadilah longsor bahkan banjir bandang.
Bencana di Sumatra menguak bahaya nyata. Bukan hanya kerugian materiil dan korban jiwa, tetapi juga kedzaliman sistemik. Rakyat kecil menanggung akibat, sementara elite penguasa dan pengusaha hidup nyaman menikmati hasil dari menjarah alam.
Dalam pandangan ini, musibah bukan sekedar ujian, melainkan alarm bahwa ketika hukum manusia (kapitalisme) berkuasa dan hukum Allah justru dikesampingkan, ketika akar dicabut dan gunung digerus. Hasilnya : bencana mematikan.
Negara Islam: Penata lingkungan dengan hukum Allah
Dalam Islam, manusia diangkat sebagai khalīfatullāh fī al-arḍ : wakil Allah di muka bumi. Dengan amanat untuk menjaga dan memakmurkan bumi, bukan merusaknya.
Perusakan lingkungan seperti deforestasi, penebangan hutan tanpa reboisasi, pengalihan lahan tanpa memperhatikan ekosistem adalah bentuk khianat terhadap amanat tersebut, dan termasuk dosa terhadap bumi.
Al-Qur’an telah memperingatkan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia.
Allah berfirman :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41)
Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh menjaga kelestarian alam. Tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi memastikan setiap kebijakan memprioritaskan keselamatan umat dan lingkungan.
Negara dengan sistem Islam akan menerapkan hukum Allah dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk:
1. Menata tata ruang sesuai fungsi alamiah : kawasan hutan, area resapan air, pemukiman, industri, dan sebagainya.
2. Membatasi eksploitasi alam : izin sawit, tambang, perkebunan agar tidak merusak ekosistem atau mengganggu hak masyarakat.
3. Berinvestasi dalam pencegahan dan mitigasi bencana, seperti reboisasi, konservasi, drainase, peringatan dini.
4. Mengutamakan maslahat umat dan lingkungan di atas kepentingan segelintir pengusaha atau elit.
Hukum Allah adalah solusi nyata
Hanya dengan hukum Allah, negara dan umat bisa meminimalisir risiko banjir, longsor, dan bencana akibat kerusakan lingkungan. Khalifah yang bertanggung jawab akan merancang “blue print” tata ruang secara menyeluruh; memetakan kawasan pemukiman, industri, pertanian, dan area konservasi; melarang perusakan hutan sembarangan; menjaga keseimbangan alam.
Dengan demikian, bencana seperti yang saat ini menimpa Sumatra bisa dicegah, bukan hanya dengan evakuasi dan bantuan darurat, tetapi dengan pengalokasian dana untuk pencegahan sistemik dan penataan lingkungan. Setiap kebijakan difokuskan untuk menghilangkan dharar (bahaya) dan mencegah kemudaratan.
Sebagai umat Islam, kita diingatkan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari keimanan. Kita wajib menolak seluruh kebijakan dan praktik perusakan lingkungan, serta menyerukan sistem yang adil, yang menegakkan hukum Allah, melindungi hak rakyat, dan menjaga alam sebagai amanat.
Semoga tragedi ini menjadi tuntunan dan penggerak bagi kita semua untuk berubah, bukan hanya berduka, tapi juga berbenah. Sudah saatnya kita kembali kepada hukum-hukum Allah secara menyeluruh (kaffah), mengamalkannya, serta mendakwahkannya.

Posting Komentar