Oleh: Mei Widiati, M.Pd.
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin telanjang dari kezaliman struktural: hutan-hutan digunduli, sungai dipersekusi, izin tambang dibagi seperti sedekah politik, dan pemerintah sibuk menstigma kritik lingkungan sebagai “radikalisme ekologi”, seolah menyelamatkan bumi adalah tindakan subversif.
Padahal Allah telah memperingatkan:
Surat Ar-Rum ayat 41 berbunyi:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Barang siapa merusak, maka ia berdosa.” (HR. Bukhari-Muslim)
Lalu, siapa lagi yang paling merusak kalau bukan para pemilik modal, para dealer izin tambang, para politisi yang mempertukarkan hutan dengan amplop miliaran?
1. Deforestasi: Ketika Hutan Dijual Seharga Nafsu Kapital
Dari hulu ke muara, pola kehancuran sama: hutan dibuka untuk perkebunan sawit, tambang, dan PLTA yang dibangun secara brutal. Hutan yang seharusnya menjadi “penyangga siklus hidrologi” dibabat habis. Kayunya diambil, tanahnya digaru, sungai dibebani kayu-kayu besar yang saat hujan berubah menjadi peluru raksasa.
Para pejabat berdalih “sawit sama dengan hutan—sama-sama hijau”. Itu penghinaan terhadap ilmu. Secara hidrologi, sawit menyerap air hanya 1/10 bahkan 1/100 dari hutan asli. Yang tidak paham disebut “bodoh”, tapi yang paham namun tetap merusak adalah “culas”. Dan culas inilah yang merajalela.
Allah mengingatkan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya." (TQS. Al-A’raf: 56)
Apa lagi istilah yang cocok selain kerusakan ketika 10 juta hektar hutan dikonversi menjadi sawit dalam 20 tahun terakhir?
2. Izin Tambang: Legal Tapi Brutal
Tambang emas, batu bara, dan izin HPH menyusun rantai kerusakan yang tak berkesudahan. Izin “pinjam pakai kawasan hutan” menjadi legalitas formal untuk mempreteli bumi. Banyak pemilik izin kebun sawit berubah menjadi penambang ilegal begitu menemukan emas atau batu bara di bawah tanah.
Legal, tapi ugal-ugalan.
Legal, tapi merusak.
Legal, tapi mengundang murka langit.
Sementara itu, uang suap mengalir deras. Ada bupati yang menerima 100 miliar, 200 miliar, bahkan 1 triliun. Semua demi menandatangani kertas yang mengizinkan bumi dibunuh.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Ahmad)
Hari ini, laknat itu tampak dalam bentuk banjir bandang, longsor, hancurnya jembatan, rumah hanyut, dan air lumpur yang menelan desa-desa.
3. Ketika Kritik Dibungkam dengan Stigma “Wahabi Lingkungan”
Ironis: Bukan koruptor yang dianggap ekstrem. Bukan perusak hutan yang dituduh radikal. Justru aktivis lingkungan, yang mengingatkan bahaya kapitalisme ekstraktif, diberi label: “Wahabi ekologi”, “radikalisme hijau”, “anti pembangunan”. Ini adalah manuver politik untuk mematikan kontrol publik.
Padahal Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Agama itu nasihat.” (HR. Muslim)
Namun bagi sebagian elite, nasihat dianggap ancaman. Kritik dianggap musuh negara. Penyelamatan bumi dianggap anti-pertumbuhan.
4. Kapitalisme Ekstraktif: Sumber Bencana yang Sesungguhnya
Akar masalah bukan hujan, bukan cuaca, bukan “takdir”. Akar masalah adalah sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan:
- Hutan sebagai komoditas, bukan amanah
- Sungai sebagai saluran limbah, bukan jalur kehidupan
- Alam sebagai objek ekstraksi, bukan titipan generasi
Selama prinsipnya adalah “ambil sebanyak mungkin, bayar sesedikit mungkin”, maka banjir, longsor, dan kerusakan ekologis akan terus terjadi.
Allah telah menetapkan misi manusia:
... إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
“Aku jadikan kalian sebagai khalifah di bumi.” (TQS. Al-Baqarah: 30)
Bukan sebagai pemangsa bumi.
5. Solusi: Kembali pada Prinsip Islam dalam Tata Kelola Alam
Islam bukan hanya ritual. Ia memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang:
- Melarang privatisasi sumber daya strategis
- Mengharamkan jual beli hutan, air, dan mineral kepada korporasi
- Mengatur negara sebagai pemelihara, bukan makelar izin
- Mendorong keseimbangan ekologi sebagai kewajiban syar’i
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud)
Namun di negeri ini, ketiga-tiganya telah diserahkan pada kapital. Maka jangan heran jika bumi memberontak.
Wallaahu a'lam bishshowab

Posting Komentar