Bencana Banjir Dan Misteri Kayu Gelondongan, Bukti Kejahatan Kapitalisme

Oleh: Siti Zaitun


Viral berita bencana banjir bandang yang kembali menerjang beberapa wilayah di Sumatra ( Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara), menyisakan potret memilukan sekaligus mengerikan. 


Pasca banjir bandang yang menerjang wilayah Sumatra dan sekitarnya. Bukan hanya banyaknya korban jiwa dan luka- luka, bangunan yang hancur, bahkan beberapa desa beserta penduduknya yang hilang. Dan banyak ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir. Kementrian Kehutanan ( Kemenhut) sampai saat ini masih menelusuri sumber dan penyebabnya. 


Sementara itu Direktur Jenderal Penegakan Hukum ( Gakkum) Kemenhut Dwi Januanto Nugroho mengatakan bahwa kayu-kayu yang terbawa banjir di Sumatera bisa berasal dari beragam sumber. Adanya pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai atau area bekas penebangan legal. Bisa juga akibat dari Penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah( PHAT) serta pemalakan liar ( illegal logging).

(CNNIndonesia.com, 30/11/2025).


Dwi mengatakan bahwa sepanjang 2025, Gakkum Kemenhut sudah menangani sejumlah kasus terkait pencucian kayu ilegal di wilayah Sumatera. Sept yang pernah dilakukan pada Juni 2025 di Aceh Tengah. Saat itu penyidik mengungkap penebangan pohon secara tidak sah diluar areal PHAT dan kawasan hutan oleh pemilik PHAT. Dari hasil penyidikan, ditemukan barang bukti sekitar 86,60 Meter kubik kayu ilegal. 


Pada Agustus 2025, di Solok Sumatera Barat berhasil diungkap kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan diluar PHAT. Mereka menggunakan dokumen PHAT untuk mengangkut hasil penebangan nya152 barang kayu/ log, 2 unit ekskavator, dan 1 unit buldoser menjadi barang bukti. Belum lagi penemuan kasus penebangan yang terjadi di kepulauan Mentawai dan Gresik serta di Sipirok, Tapanuli Selatan pada Oktober 2025.


Fenomena melimpahnya kayu ini mengundang tanda tanya yang sama dari publik, bagaimana kayu sebanyak itu bisa hanyut dalam waktu yang singkat? Jika hanya karena pepohonan tumbang akibat curah hujan tinggi, tentu jumlahnya tidak akan sedemikian besar. Kenyataan ini menggiring kita pada dugaan yang makin kuat, yaitu hutan di wilayah hulu telah mengalami deforestasi besar- besaran dalam waktu panjang. 


Banyak pepohonan yang semestinya berdiri kokoh sebagai penjaga alam just tumbang atau tercerabut karena akarnya telah kehilangan kekuatannya. Lebih tragis lagi, pada sebagiannya terdapat bekas potongan rapi yang menunjukkan adanya aktivitas penebangan kayu secara sistematis. Artinya, apa yang tersapu banjir bukan hanya tanda kerusakan alam, tetapi bukti keterlibatan tangan manusia. 


Eksploitasi Alam


Penelusuran dan pernyataan masyarakat menunjukkan bahwa area hutan di bagian huku sudah jauh dari kata lestari. Gelondongan kayu muncul bukan saja dari pohon yang tumbang secara alami, tetapi juga berasal dr hasil penebangan baik yang mendapatkan izin resmi ( legal logging) maupun yang dilakukan secara sembunyi- sembunyi ( illegal logging). 


Dengan kata lain, bencana banjir bandang bukan hanya disebabkan oleh fenomena alam, tetapi merupakan akumulasi kelalaian manusia dalam menjaga hutan yang seharusnya menjadi benteng alami bagi masyarakat. 


Secara ekologis, hutan memiliki fungsi vital yang tak tergantikan. Akar pohon berperan mengikat tanah, memperkuat struktur lapisan tanah, serta meningkatkan daya serap air hujan. Ketika pepohonan hilang, air tidak lagi memiliki tempat untuk mengendap. Tanah menjadi rapuh, mudah terkikis, dan akhirnya longsor. 


Air yang seharusnya meresap ke dalam tanah justru meluncur deras kehilir, membawa serta lumpur, batu, dan kayu. maka tidak mengherankan jika banjir bandang menjadi maki  sering dan bertambah parah Penebangan hutan menjadikan alam kehio keseimbangannya. 


Namun, persoalan terbesar bukan terletak pada penebangan pohon semata, tetapi pada ada yang mendorong tindakan tersebut. Jika kita menilik lebih dalam, kerusakan lingkungan tidak pernah berdiri sendiri. Ia hadir sebagai akibat dari paradigma dan sistem yang memandang alam sebatas objek eksploitasi. 


Sistem kapitalisme yang saat ini menjadi asas utama dalam pengelolaan sumber daya alam telah menghasilkan pola pikir yang menempatkan keuntungan sebagai tujuan tertinggi. Selama pendapatan meningkat, maka ekploitasi alam dianggap sesuatu yang wajar bahkan dipromosikan. Hutan dipandang bukan sebagai amanah yang harus dijaga, tetapi sebagai komoditas ekonomi yang bebas dikuasai oleh pihak yang memiliki modal besar. 


Legal Logging yang selama ini mendapat restu pemerintah bukanlah jaminan bahwa lingkungan diurus dengan baik. Sebaiknya, sering kali izin penebangan diberikan kepada korporasi yang siap membayar mahal untuk menguasai lahan hutan yang luas. Dalihnya adalah investasi dan pembangunan ekonomi. 


Namun, kenyataan menunjukkan bahwa manfaatnya hanya dirasakan oleh segelintir elite pemilik modal, sedangkan kerusakannya harus ditanggung masyarakat luas. Ketika banjir datang, andalan yang diberikan adalah bantuan sesaat yang tidak menyelesaikan akar masalah. Pemerintah memberikan izin pembukaan hutan, tetapi setelah bencana menimpa, rakyat disuruh sabar dan pasrah. Ironi seperti ini terus saja berulang. 


Sementara itu, illegal logging tetap tumbuh subur, Lemahnya pengawasan dan praktik korupsi menjadikan penegakan hukum hanya formalitas. Tidak jarang pula para pelaku ilegal mendapatkan " payung " dari oknum aparat atau pejabat yang sehari mengawasi. Alhasil, hutan yang tersisa makin menipis. Deforestasi meluas dalam diam, sebelum pada akhirnya banjir bandang membongkar kejahatan lingkungan yang selama ini tertutup rapat. 


Fakta inilah yang menjelaskan bahwa kerusakan hutan bukan hanya soal teknis, tetapi persoalan sistemis. Sistem kapitalisme menciptakan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya. Hutan sebagai bagian dari milik umum justru diprivatisasi atas nama investasi. 


Pemilik modal dipandang sebagai pahlawan ekonomi, sedangkan rakyat harus menerima dampak buruk lingkungan tanpa bisa bersuara. Keuntungan materi dijadikan parameter keberhasilan, sedangkan keselamatan ekosistem dan generasi mendatang diabaikan.


Islam memandang masalah ini dari perspektif yang berbeda. Dalam Islam, manusia ditempatkan sebagai khalifah di bumi, yaitu makhluk yang diberi amanah untuk menjaga, merawat, serta tidak melakukan kerusakan. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-Araf ayat 56:


" Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi setelah Allah memperbaikinya. Berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik".


Ayat ini menunjukkan larangan tegas untuk merusak bumi, baik dalam skala kecil maupun besar.  Hutan bukan hanya sekumpulan pohon, melainkan bagian dari keseimbangan kehidupan yang diciptakan Allah untuk kemaslahatan manusia dan makhluk lainnya. 


Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang vital seperti hutan, padang rumput, dan air termasuk dalam kategori milik umum ( al-milkiyah al- ammah) . Rasulullah SAW. Bersabda: " Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" ( HR, Abu Dawud). 


Hadis ini menunjukkan bahwa hutan tidak boleh diserahkan kepemilikan dan pengelolaannya kepada individu atau korporasi yang bertujuan meraih keuntungan pribadi. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab dan memastikan bahwasanya semua kebijakan yang diambil memberikan manfaat bagi seluruh rakyat, tanpa merusak alam. 


Solusi Islam. 


Islam sebagai agama yang paripurna tidak hanya mengatur aspek ibadah spritual, tetapi juga memberikan konsep pengelolaan lingkungan hidup yang jelas dan tegas sebagai bagian dari amanah kekhalifahan manusia di bumi. 


Dalam pandangan Islam, pemeliharaan alam bukan pilihan, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap muslim dan negara yang menerapkan hukum yang selama ini dikuasai oleh perusahaan dan pemilik modal jelas bertentangan dengan konsep milik umum dalam Islam. 


Karena itu, solusi terhadap kerusakan hutan dimulai dengan memperbaiki sistem yang mengatur kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri. 


Beginilah  mekanisme Islam menjaga alam:


Pertama, Islam menetapkan bahwa hutan merupakan bagian dari kepemilikan umum, yang manfaatnya diperuntukkan bagi seluruh rakyat. Negara tidak boleh menjual atau menyerahkan kepemilikannya kepada individu atau korporasi mana pun, apalagi asing. 


Negara hanya bertindak sebagai pengelola yang memastikan hutan tetap lestari, memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat, serta menjaga fungsi ekologisnya. Dengan konsep ini, praktik kapitalisasi Hutt melalui pemberian izin konsesi tidak lagi terjadi, sehingga penebangan besar- besaran yang merusak akan dapat dihentikan sejak aturan dasarnya. 


Kedua, negara dalam sistem Islam wajib melakukan pengawasan yang ketat dan terarah terhadap seluruh aktivitas pemanfaatan hutan. Setiap bentuk penebangan kayu harus berada dalam batas yang tidak mengganggu keseimbangan alam, serta sebanding dengan upaya peremajaan yang dilakukan. 


Negara akan mengelola hutan secara profesional dengan lembaga Pengelolaan yang kompeten, bukan sekedar menjadi penonton atau sekedar menjadi penonton atau sekedar pemberi izin. Jika ditemukan pelanggaran, negara wajib menindak tegas, tanpa pandang bbulu  dan hukuman yang diberikan bukan sekadar admiministratif, tetapi dapat berupa sanksi yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya, termasuk korporasi besar. 


Ketiga, Islam mewajibkan adanya rehabilitasi lingkungan secara berkelanjutan. Reboisasi bukan  hanya kegiatan seremonial atau proyek anggaran tahunan, melainkan strategi permanen yang menjadi bagian dari perencanaan negara. 


Kegiatan penanaman kembali dilakukan secara ilmiah dengan memperhatikan kesesuaian jenis tanaman, kondisi tanah, aliran sungai, hingga struktur ekosistem yang mendukung kehidupan satwa. Dengan cara ini  fungsi ekologis hutan dapat dipulihkan, bukan sekedar dihiasi agar terlihat hijau sesaat. 


Keempat, sist ekonomi islam memberikan solusi sehingga rakyat tidak terdorong melakukan tindakan destruktif seperti illegal logging. Dalam islam, negara wajib memastikan kesejahteraan wart secara langsung. 


Kebutuhan pokok rakyat dijamin pemenuhannya oleh negara melalui mekanisme distribusi kekayaan yang adil, sehingga alasan ekonomi yang sering menjadi pemicu perusak hutan tidak lagi terjadi. Dengan demikian, masyarakat tidak" dipaksa keadaan " untuk merusak lingkungan. 


Kelima, Islam menanamkan kesadaran ekologis berbasis akidah. Masyarakat dididik untuk memahami bahwa menjaga alam adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT, dan merusaknya adalah perbuatan maksiat yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Nabi Muhammadaw. Bahkan menekankan pentingnya menjaga kelestarian hidup meskipun dalam situasi ekstrem. 


Beliau bersabda bahwa menanam pohon merupakan sedekah yang pahalanya terus mengalir selama pohon itu memberikan manfaat, baik kepada manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dengan landasan keimanan seperti ini, kepedulian lingkungan tidak hanya didorong oleh hukum, tetapi juga oleh hati dan kesadaran spiritual. 


Ke-enam, dalam pemerintahan Islam, kebijakan pembangunan tidak akan menomorduakan keselamatan dan kelestarian lingkungan. Setiap proyek ekonomi wajib melalui kajian mendalam tentang dampaknya terhadap alam. 


Negara juga memastikan bahwa pembangunan tidak bertumpu pada sektor yang berpotensi merusak ekosistem secara permanen. Sumber pemasukan negara berasal dari pengelolaan aset milik umum secara benar, bukan melalui penjualan izin eksploitasi kepada pemilik modal. 


Dengan seluruh mekanisme ini Islam menghadirkan solusi yang menyeluruh, mulai dari aspek hukum, ekonomi, pengawasan, edukasi, hingga spiritualitas masyarakat. 

Sistem Islam tidak hanya mencegah kerusakan lingkungan, tetapi juga menjamin bahwa manusia dan alam dapat hidup berdampingan dalam keseimbangan yang diridhoi Allah SWT. 


Sudah saat nya seluruh umat manusia berhukum kepada aturan yang Allah turunkan agar tidak terjadi kerusakan. Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

 
Top