Bencana Sumatra, Bukti Bahaya Perusakan Alam dalam Sistem Kapitalisme


Oleh: Roslina Sari

 (Analisis dan Aktivis Muslimah Deli Serdang).

 

Innalilahi wa innailaihi raaji'uun.

Bencana longsor hingga banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa lainnya. Pada kamis 25-27 November 2025 yang lalu.


Menimbulkan korban jiwa yang terus bertambah. Korban meninggal terbaru mencapai sembilan ribuan jiwa. Puluhan ribu rakyat mengungsi. Belum lagi rakyat yang hilang, rakyat kelaparan, rakyat yang sakit, mengalami luka-luka dan kehilangan tempat tinggal dan kehilangan keluarganya. 


Bahkan sampai hari ada daerah- daerah terisolir belum mendapatkan bantuan. Karena akses jalan dan komunikasi yang terputus. Rakyat menangis karena sulit nya mencari makanan dan pakaian serta tiadanya tempt tinggal mereka. 


Belum lagi sulitnya evakuasi korban meninggal karena minimnya alat berat membuat ancaman penyakit buat para korban bencana. 


Sungguh kondisi ini sangat menyedihkan dan memilukan. Seluruh rakyat Indonesia berduka. Sementara sampai saat ini pemerintah belum juga menetapkan sebagai status bencana nasional pada bencana Sumatra. Padahal rakyat telah menjerit meminta perhatian penuh dari negara. 


Rakyat juga harus menangis karena negara malah menurunkan alokasi anggaran biaya dalam penanganan bencana. Kondisi ini pasti kedepannya akan menyulitkan para korban dalam pemulihannya. Mengingat besarnya kebutuhan untuk menangani dampak banjir dan longsor Sumatra. 


Diberitakan dariJakarta, CNN Indonesia -- Data korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Sumatera per Senin (1/12) petang menjadi 604 orang.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyampaikan jumlah korban yang ditampilkan merupakan data terbaru.


"Data yang tampil data ter-update," ujar Abdul Muhari kepada wartawan, Senin.


Berikut ini data korban bencana Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), hingga Sumatera Barat (Sumbar) per pukul 17.00 WIB, Senin (1/12):


Korban Jiwa: 604 Orang

Korban Hilang: 464 orang

Korban luka: 2.600 orang

Warga terdampak: 1,5 juta orang

Jumlah pengungsi: 570 ribu orang.


Adapun rincian korban jiwa di Aceh sebanyak 156 orang, korban hilang 181 dan korban luka 1.800 orang. Kemudian, korban meninggal di Sumbar sebanyak 165 orang, korban hilang 114 jiwa, dan 112 orang terluka. Sementara di Sumut, jumlah korban meninggal 283 orang, 169 orang hilang, dan 613 terluka.


Data BNPB juga menyampaikan sebanyak 3.500 rumah rusak beras, 4.100 rumah rusak sedang, 20.500 rumah rusak ringan. Kemudian, 271 jembatan rusak hingga 282 fasilitas pendidikan rusak.


JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian buka suara terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap bencana banjir dan longsor di Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar).


Ia menuturkan, meski status bencana nasional belum ditetapkan, akan tetap penangnan bencana di wilayah tersebut dilakukan sudah setara bencana nasional.


"Untuk penetapan status bencana nasional sementara ini belum, setahu saya. Tetapi, perlakuannya sudah nasional dari  hari pertama," kata Tito dalam keterangannya, Senin (1/12/2025), dikutip dari laporan jurnalis KompasTV.


Jakarta, Beritasatu.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kesiapan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatera, meskipun terjadi penurunan alokasi dari sekitar Rp 2 triliun menjadi Rp 491 miliar. Isu penurunan anggaran ini sebelumnya sempat memicu perhatian publik, terutama di tengah besarnya kebutuhan untuk menangani dampak banjir dan longsor yang terjadi secara masif di berbagai provinsi.


Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, realisasi anggaran sepenuhnya menyesuaikan dengan permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12/2025).


Penyebab bencana longsor hingga banjir bandang bukan hanya karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. 


Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekadar ujian semata, tapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, undang-undang minerba, undang -undang cipta kerja, dan lain lain).


Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) per Desember 2025, sekitar 1,4 juta hektare hutan di tiga provinsi (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) mengalami deforestasi antara tahun 2016 hingga 2024. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh kemudahan perizinan untuk perusahaan tambang dan perkebunan sawit. 


WALHI juga menyoroti angka kerusakan lainnya dalam berbagai laporan spesifik:

Pada tahun 2014, WALHI mencatat sekitar 56 juta hektare hutan di Indonesia telah rusak secara keseluruhan akibat kejahatan hutan.


WALHI menyebut konversi kebun sawit telah memicu kerusakan lahan seluas 3,2 juta hektare. Laporan WALHI Jatim mencatat 608.913 hektare lahan hutan di Jawa Timur kritis akibat eksploitasi tambang.


Pada tahun 2023, WALHI mencatat Indonesia kehilangan 290 ribu hektare hutan primer.


Berdasarkan catatan WALHI, bencana ini disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, dan diperparah oleh krisis iklim. Periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.


Jika dilihat lebih detail, bencana di tiga provinsi ini bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulu-nya berada di bentang hutan Bukit Barisan. 


Di Sumatera Utara misalnya, bencana paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. 


Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan.


Sedangkan di Aceh, ada 954 DAS, 60% dalam Kawasan Hutan, 20 DAS kritis. Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 Ha. Sejak 2016-2022  43 % DAS tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan, sekarang tersisa 30.568 Ha atau sekitar 57 % . DAS Singkil sebagaimana yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 seluas   1,241,775 hekar. 


Namun sisa tutupan hutan pada 2022 hanya 421,531 hektar.  Artinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami degradasi tutupan hutan di DAS Singkil seluas 820,243 hekar, 66%. DAS Jambo Aye luas awalnya 479.451 hektar, kerusakan 44,71 %. DAS Peusangan yang luasnya 245.323 kerusakan 75,04 %, DAS Krueng Tripa dari total luas 313.799 kerusakan 42,42 %. 


DAS Tamiang dari luas 494.988 kerusakan 36.45 %. Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin yang merupakan salah satu DAS administratif penting di Kota Padang, dengan luas 12.802 hektare. Secara topografis, kawasan hulu DAS memiliki kelerengan datar hingga terjal, dengan bagian hulu berada di wilayah Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis utama. 


Namun, kawasan terdegradasi cukup parah akibat tekanan aktivitas manusia. Dari tahun 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon, mayoritas deforestasi terjadi di wilayah hulu, yang memiliki peran vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.


Ahmad Solihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh mengatakan “banjir yang melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh memberikan satu pesan keras, bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia. 


Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang. 


Banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela.


Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai.” 


Riandra, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara menyampaikan “ilayah yang paling kritis adalah Tapanuli Tengah, Sibolga dan Tapanuli Selatan yang hulunya ada di ekosistem batang toru. Dalam delapan tahun terakhir WALHI Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru, selain akan memutus habitat orang hutan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru.


Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya mengalihfungsikan hutan. 


Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.”


Andre Bustamar dari WALHI Sumbar menyatakan bahwa penyebab bencana di Sumbar diakibatkan oleh akumulasi krisis lingkungan karena gagalnya pemerintah dalam melakukan pengelolaan SDA. Deforestasi, Pertambangan emas ilegal, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab kenapa Sumbar terus didera bencana ekologis. 


Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS.


Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis.


Bencana ekologis yang terjadi di Sumbar menempatkan negara dalam hal ini pemerintah di daerah Provinsi Sumbar sebagai aktor yang paling bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari resiko bencana.


Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan “dari fakta ini kita bisa lihat dengan jelas bahwa penyebab bencana ekologis yang terjadi saat ini adalah pengurus negara dan korporasi. 


Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme.

Karena sistem rusak inilah yang telah melahirkan penguasa yang zalim, culas dan rakus. 


Sistem sekuler demokrasi kapitalisme  menjadikan para penguasa itu tidak takut pada Allah SWT dalam berbuat. Standar mereka berfikir adalah pemisahan agama dari kehidupan sehingga menghalalkan segala cara yang penting ada keuntungan dan manfaat. 


Liberalisme yaitu kebebasan kepemilikan merupakan salah satu kebebasan yang sangat diagungkan dalam sistem demokrasi.


Kebebasan memiliki barang apa saja tidak memperdulikan halal-haram. Bahkan dilindungi oleh negara melaluinya regulasi perundang-undangan. Dan yang dominan dalam sistem kapitalisme adalah kebebasan bagi para kapitalis/pemilik modal. 


Merekalah sejatinya penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme. Penguasa nya adalah pengusaha yang dinamakan oligarki. Tak heran negara bertindak sebagai sebagai korporasi yang menjadikan rakyat bukan sebagai suatu amanah yang harus diurusi dan dilindungi. 


Bahkan penguasa yang sekaligus pengusaha kerap kali menjarah hak milik rakyat demi kepentingan pribadi dan golongan mereka. 


Penguasa dan pengusaha kerap kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat antara lain pembangunan.


Dalam sistem demokrasi kapitalisme sekularisme liberal. Penguasa memberikan izin pertambangan, izin penebangan pohon, izin konsesi lahan, kepada oligarki dan juga Ormas sebagai politik balas budi setelah berkuasa.


Regulasi perundang-undangan pun mereka buat untuk mempermudah para oligarki ini mudah mendapatkan izin untuk konsensi lahan, deforestasi, pertambangan, penebangan pohon seperti Undang-undang  Minerba,  sampai di sempurnakan dengan UU Cipta kerja. Sehingga para korporat ini mendapat legalisasi dari negara.


Musibah banjir dan longsor di Sumatra telah memperlihatkan dengan nyata betapa rakusnya para kapitalisme. Mengakibatkan bencana ekologis dengan kerusakan yang luar biasa. 


Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Meninggalkan syari'ah Allah mendatangkan kemafsadatan(keburukan). 


Masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya. 


Para penguasa dan pengusaha/oligarki meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Sedangkan rakyat kehilangan nyawa, kehilangan tempat tinggal dan keluarga. 


Islam dalam Al-Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Melestarikan alam dan lingkungan adalah bukti dari penerapan Islam. 


Islam mengharamkan perusakan hutan secara ugal-ugalan dan bagi pelakunya ada sanksi yang tegas. 


Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam QS.Ar-Rum.:41


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ۝


Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar. 


Allah SWT dengan tegas mengingatkan kerusakan yang terjadi didarat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia dengan membuat kerusakan dibumi. 


Dan ini merupakan kemaksiatan yang sangat besar. Kemaksiatan itu akan mendapat dosa dan mendatangkan siksa didunia dan akhirat. Siksa dunia berupa bencana. Dan akhirat akan mendapat hisab dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. 


Oleh karena itu negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Dengan seperangkat aturan Islam yang diterapkan negara dalam mengatur urusan umat. Sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan, sistem sanksi Islam yang membuat jera bagi perusak hutan, sistem sosial, pendidikan, dan sistem politik dalam negeri dan luar negerinya yang kesemuanya itu adalah syariah Allah yang ketika diterapkan mendatangkan kebaikan. 


Dalam QS. Al-a'raf:56 Allah SWT mengingatkan Orang-orang mukmin. 


وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ


Artinya:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.


Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan. Antisipasi ini disebut mitigasi bencana termasuk pra bencana dan pasca bencana.


Dana itu di ambil dari baitul mal. Dari pos-pos yang sudah ditentukan. 


Tidak seperti dalam sistem kapitalisme, negara malah memangkas dan mengalihkan anggaran untuk bencana untuk kepentingan politik kapitalis. 


Negara kapitalis gagal dalam mitigasi bencana. Baik pra dan paska bencana.  Akibatnya korban jiwa bertambah. Pemulihan lebih lama dari bencana. 


Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. 


Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari 

dharar. 


Sehingga Kholifah menetapkan suatu bencana yang terjadi disuatu daerah atau beberapa daerah dalam negara statusnya sebagai bencana negara. Seperti saat ini 

yang terjadi di Sumatra adalah negara Khilafah akan menetapkan bencana ini sebagai status bencana negara. Bukan sekedar bencana daerah sebagaimana saat ini yang dilakukan penguasa di negeri ini.


Sehingga negara benar-benar menangani bencana ini dengan seluruh kemampuannya dan seluruh perhatiannya. 

Sehingga meminimalisir bahaya bencana dan keselamatan jiwa rakyatnya . 


Negara Khilafah tidak akan pelit dalam mengeluarkan pembiayaan dalam bencana. Dana telah disiapkan penuh dalam biaya mitigasi bencana baik pra dan pasca bencana. 


Di masa Khilafah, penanganan banjir dilakukan secara sistematis dan preventif dengan membangun infrastruktur seperti bendungan dan kanal, menjaga kebersihan sungai, mencegah pembangunan di area rawan banjir (hima), serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berbasis kepemilikan umum, didukung dana dari pos-pos negara (seperti fai, kharaj, dan milkiyyah 'ammah), dan penanganan darurat korban bencana yang komprehensif dengan logistik serta pembinaan keimanan. 


Strategi Penanganan Banjir di Masa Khilafah:


1.Pencegahan dan Mitigasi Struktural. 

Membangun Infrastruktur: _Pembangunan bendungan, sungai buatan, kanal, dan sumur resapan air untuk menampung curah hujan tinggi dan mengelola aliran air.


_Pengelolaan Tata Ruang: Melarang pembangunan pemukiman atau aktivitas lain di sempadan sungai (konsep hima) untuk menjaga daerah resapan air.


_Pengetatan Izin Bangunan: Memberikan izin pembangunan dengan syarat ketat, menolak izin jika membahayakan (mudhorot), serta memberikan sanksi bagi pelanggar.


2.Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA):

_Kepemilikan Umum: Mengelola SDA (migas, mineral, air) oleh negara karena merupakan milik rakyat, bukan diprivatisasi, dengan hasilnya untuk kesejahteraan publik.


_Penjagaan Hutan: Melarang penggundulan hutan secara ilegal dan memberikan sanksi tegas.


'Pendanaan Bencana:

Mengalokasikan dana dari pos-pos negara seperti fai (harta rampasan perang tanpa perang), kharaj (pajak tanah), dan milkiyyah 'ammah (keuntungan SDA) untuk penanganan bencana alam.


3.Penanganan Korban Bencana:

_Respon Cepat: Mengevakuasi korban, menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan layak.


_Pembinaan Keimanan: Mengerahkan ulama untuk memberikan tausiyah, menguatkan keimanan, dan mengajarkan kesabaran pasca-bencana. 


3.Dasar Hukum:

Kebijakan ini didasarkan pada hukum syariat Islam dan bukan semata-mata pertimbangan rasional, sehingga dianggap mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.


Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah.


Kepemimpinan seorang khalifah (pemimpin Islam) dalam merancang tata ruang wilayah yang komprehensif dan berkelanjutan (blueprint), dengan prinsip utama menyesuaikan penggunaan lahan dengan potensi alami (fungsi alaminya) serta memperhatikan semua aspek kehidupan: tempat tinggal, industri, pertambangan, dan aspek spiritual/sosial (himmah), untuk menciptakan keseimbangan dan kemaslahatan umat. Ini adalah konsep pengelolaan wilayah berbasis nilai-nilai Islam yang berfokus pada keadilan, efisiensi sumber daya, dan kesejahteraan jangka panjang, bukan sekadar pembangunan fisik.


Poin-poin Kunci dalam Blueprint tata ruang ala Khilafah adalah:


1.Blueprint Menyeluruh: _Perencanaan terintegrasi untuk seluruh wilayah, bukan parsial, mencakup semua sektor.


2.Pemetaan Fungsi Alami: 

_Memahami dan memanfaatkan potensi tanah, air, udara, dan sumber daya lain secara optimal sesuai fitrahnya (misalnya, hutan untuk konservasi, lahan subur untuk pertanian).


3.Tempat tinggal dan daya dukung: _Membangun permukiman dengan infrastruktur memadai (air, sanitasi, energi) yang selaras dengan lingkungan sekitar, tidak membebani sumber daya.


4.Industri dan pertambangan: _Mengatur lokasi industri dan pertambangan secara strategis agar tidak merusak lingkungan dan jauh dari permukiman, serta mengelola sumber daya alam secara adil (tidak eksploitatif).


4.Himmah (cita-cita/tujuan luhur): _Menjadikan tujuan pembangunan adalah untuk mencapai kemaslahatan umum (kesejahteraan sosial, keadilan, ketakwaan) sebagai manifestasi dari amanah kepemimpinan, memastikan pembangunan berorientasi pada nilai spiritual dan sosial, bukan hanya ekonomi semata.


Intinya, ini adalah pendekatan Islamic Urban Planning atau perencanaan kota/wilayah Islami yang holistik, berkeadilan, dan berkelanjutan, di mana pemimpin berperan sebagai pengelola amanah untuk kemaslahatan bersama.


Negara Khilafah yang dipimpin seorang Kholifah benar-benar mengurusi urusan bencana ini dengan serius dan totalitas.  Karena negara dalam Islam adalah merupakan pengurus urusan umatnya. Sehingga Kholifah kaum muslimin dan para pembantunya akan  dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah kelak jika mereka melalaikan urusan ini. 


Rasulullah SAW bersabda:


الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR Bukhari Muslim). 


Ini artinya, negara wajib mengelola bencana yang menimpa secara langsung dan tidak menyerahkan urusannya kepada pihak lain.


Rasulullah saw. bersabda:

 “Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi).


Islam memandang bahwa makanan, pakaian dan tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok umat, sedangkan keamanan, kesehatan dan pendidikan termasuk kepada masalah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup yang terpenting, karenanya negara berkewajiban memenuhinya bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.


Pengadaan dan jaminan terhadap kebutuhan pokok dan pelayanan mendasar ini ditanggung sepenuhnya oleh negara, baik untuk orang miskin atau kaya, muslim maupun nonmuslim.


Terlebih lagi ketika terjadi bencana, negara yang berkewajiban untuk memenuhinya sampai rasa laparnya hilang, tercukupi pakaiannya sehingga tertutup auratnya, seperti bagi wanita kerudung dan dan jilbabnya wajib disediakan, diterpenuhi tempat tinggalnya sehingga ia terlindungi dari hal-hal yang bisa membahayakannya.


Demikian pula dengan kesehatan dan keamanan serta pendidikannya.


Keberadaan potensi bencana alam di suatu tempat merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi ada ikhtiar yang harus dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan hal ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.


Sehingga potensi bencana alam—biidznillah—dapat dihindari dengan kebijakan negara Khilafah yang tidak lepas dari nash dan pertimbangan aqliyah.


Penanganan prabencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana, hal ini sering disebut mitigasi.


Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya.


Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.


Khilafah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih, seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain,  sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana.


Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.


Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan Kerugian material akibat bencana.


Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan adalah evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah dipersiapkan sebelumnya.


Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah penyiapan lokasi-lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan tim SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana.


Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.


Sedangkan penanganan pascabencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk:

 (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya.


Adapun kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan-kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan serta pelayanan medis lainnya.


Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan tausiah- tausiah atau ceramah-ceramah untuk mengukuhkan akidah dan nafsiyah para korban. 


(2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pascabencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya.


Jika Khilafah memandang tempat terkena bencana masih layak untuk di-recovery, Khilafah akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya sehari-harinya secara normal seperti sedia kala. 


Bahkan jika perlu, khalifah akan merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif.


Untuk itu, Khalifah Islamiyah akan menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam. Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan profesional.


Untuk penanganan bencana ini, tentu saja dibutuhkan dana yang sangat besar. 

Daulah Khilafah memiliki baitulmal, di mana di dalamnya terdapat pos-pos khusus yang sumber dan peruntukannya (pengaturan infak) telah diatur oleh syariat. 


Ada pos zakat, sumbernya dari zakat kaum muslimin dan infaknya untuk delapan asnaf.


Ada pos harta milik umum yang sumbernya dari hasil eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara terhadap harta milik umum(milkiyyah ammah) , di antaranya barang tambang dan diperuntukkan untuk kepentingan umum seluruh warga negara, sedangkan pos terkait pelayanan umum, maka sumbernya dari harta milik daulah, harta milik negara, seperti dari ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya


Terkait anggaran pengolaan bencana, negara tidak boleh membebankannya kepada rakyat, semuanya menjadi tanggung jawab negara. Semuanya bersumber dari Baitulmal, karena dalam pembelanjaan negara ada pos khusus yang pengalokasiannya ditujukan untuk keperluan darurat.


Dalam kitab Al-Amwaal fii daulatil Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum dijelaskan pembiayaan untuk keadaan darurat semisal bencana, tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada, bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada dana atau tidak ada di baitul mal. Jika ada dana di baitul mal, maka harus segera dialokasikan ketika terjadi bencana.


Jika kas Baitul Mal sedang kosong maka Khalifah akan menghimbau rakyat muslim untuk mengulurkan bantuan uang maupun barang. Jika uluran bantuan rakyat tidak mencukupi, barulah negara mengambil dharibah dari kaum muslimin yang kaya saja.


Dengan demikian, negara akan segera dapat mengatasi masalah tersebut tanpa harus kekurangan dana.


Fakta Penanganan Bencana di Masa Daulah Islamiah.


Sekitar tahun 638 Masehi atau 17 Hijriah, banjir besar pertama pada masa keislaman menerjang Mekkah. Air menggenani Masjidil Haram, termasuk juga area Ka’bah. Bencana ini menyebabkan kerusakan yang signifikan. Apalagi pada zaman itu bangunan Ka’bah hanya terdiri dari komposisi batu yang direkatkan oleh tanah dan lumpur.


Untuk mencegah banjir yang lebih parah, Umar bin Khattab lalu membangun bendungan di sebagian lembah, seperti Lembah Fathimah. Usaha tersebut diteruskan pada dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Ottoman.


Khalifah Umar bin Khaththab, ketika menangani paceklik yang menimpa Hijaz, akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah dan berlangsung selama 9 bulan yang diceritakan dalam At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad.


Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah—untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab ra segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud.


Mereka setiap hari melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat terus meningkat.


Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar berjumlah 10 ribu orang, sedangkan yang tidak hadir diperkirakan 50 ribu orang. Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Madinah selama musim paceklik. Selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah.


Setelah paceklik berakhir, Umar memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.


Demikianlah umat dapat melihat dan merasakan dampak dari betapa bahayanya perusakan alam dalam sistem kapitalisme ini. Dan hanya sistem Islam yang mampu memberi solusi tuntas dan totalitas. 


Wahai umat, sesungguhnya hanya sistem Islam dengan penerapan syari'at Islam yang Kaffah dalam naungan Khilafah yang dapat menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang diakibatkan sistem demokrasi kapitalisme yang rakus dan kejam. 


Dan hanya hanya Khilafah yang mampu menjaga kelestarian alam dan lingkungan dari tangan-tangan perusak , yaitu penguasa dan para pejabat zolim yang kongkalikong dengan para oligarki dan kapitalis yang rakus dan tamak. 


Oleh karena itu, dengan adanya bencana ekologis yang terjadi Sumatra ini hendaklah menjadikan perenungan bagi kita semua untuk memasrahkan untuk hanya tunduk kepada hukum- hukum Allah Subhanahu wa ta'ala dengan menerapkan Syari'ah Allah secara kaffah umat mengatur seluruh urusan kita, dalam kehidupan dan negara sehingga Allah memberikan pertolonganNya dengan hadirnya pemimpin yang amanah (Kholifah) dan kehidupan yang berkah dari langit dan bumi dan menjauhkan dari kerusakan dan azab Allah. 


Karena hukum buatan manusia yang bernama sistem demokrasi kapitalisme sekuler liberal inilah, terbukti nyata  akar masalah yang mendatangkan bencana demi bencana di negeri ini dan penderitaan umat manusia di kehidupan dunia ini. 


Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan hambaNya dalam QS. Al-A'raf : 96.

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ۝٩٦

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.


Wallahu a'lam bisshawwab.

Posting Komentar

 
Top