Fulus Mengalir, Aspal Terkelupas: Drama Panjang Infrastruktur Indonesia

Oleh: Mei Widiati, M.Pd. 


Kalimantan Tengah menempati peringkat pertama provinsi dengan jalan rusak terpanjang di Indonesia: 191,56 km. Disusul Kalimantan Timur, Papua Barat, hingga deretan provinsi lain dari Sumatra sampai NTT. Potret ini bukan sekadar statistik — ini bukti telanjang bahwa infrastruktur kita dibangun tanpa visi, sekadar mengejar kuantitas dan pencitraan.


Padahal, jalan adalah nadi peradaban. Dalam Islam, Allah memerintahkan pemimpin untuk mengurusi rakyat dengan amanah:


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا


“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...” (TQS. An-Nisa: 58).


Rasulullah ﷺ pun menegaskan, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).


Namun apa yang terjadi?

Infrastruktur kita dibangun tanpa roadmap, tanpa kajian sistemik, tanpa perhatian pada karakter wilayah, bahkan tanpa pengawasan berkualitas. Di Jawa saja jalan tol banyak yang sudah retak meski baru berusia lima tahun. Lalu bagaimana dengan Kalimantan, Papua, atau Sumatra yang geografisnya jauh lebih berat?


Masalah utamanya bukan sekadar kurangnya anggaran.

Masalahnya adalah:

1. Kesenjangan Prioritas Anggaran


Jawa menyedot porsi terbesar, sementara luar Jawa — meski kaya SDA — dibiarkan pada nasib.


2. Konstruksi Asal Jadi


Material buruk, pengawasan longgar, proyek dipotong-potong, dan pembangunan dikejar target demi pencitraan. Akibatnya, umur jalan lebih pendek dari masa jabatan pejabatnya.


3. Beban Kendaraan Tambang


Truk-truk bermuatan berlebih menghancurkan jalan yang tidak pernah dirancang dengan standar sesungguhnya.


4. Korupsi Berlapis dari Hulu ke Hilir


Inilah sumber malapetaka terbesar. Proyek infrastruktur adalah “ladang empuk” yang sejak dulu menjadi sasaran rente.


Padahal, Islam menegaskan:

“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi).

Korupsi bukan sekadar kriminal — itu adalah penghianatan atas amanah publik.


Solusi: Butuh Negara yang Tidak Ugal-ugalan


Jika infrastruktur dibangun hanya berdasarkan selera kekuasaan, bukan atas kajian, maka hasilnya pasti rusak — cepat atau lambat. Karena itu solusinya tidak cukup tambal sulam.


1. Roadmap Nasional yang Sistemik


Bukan proyek reaktif, bukan proyek mercusuar. Sebuah peta besar yang mencakup Jawa dan luar Jawa secara adil.


2. Tata Kelola Anggaran yang Berani Lepas dari Logika Pajak Kapitalistik


Indonesia kaya SDA. Mengapa Papua dan Kalimantan — daerah terkaya — justru memiliki jalan paling buruk? Karena kekayaan itu tak kembali ke rakyat.


3. Hukuman Tanpa Ampun untuk Koruptor Infrastruktur


Korupsi jalan adalah korupsi nyawa. Putusnya akses kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Negara harus menindak tegas tanpa kompromi.


Jalan Rusak adalah Cermin Negara yang Salah Arah


Jalan rusak bukan sekadar lubang di aspal. Ia adalah lubang dalam kepemimpinan.

Ia adalah tanda bahwa negara gagal menjalankan amanah.


Sebagaimana pesan Rasulullah ﷺ: “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)


Saatnya Indonesia berhenti berjalan tanpa kompas. Jalan kita bisa mulus — fulus kita cukup — hanya saja arahnya yang harus diluruskan. Kompas  terbaik adalah dari yang Maha Baik, saatnya kembali kepada sistem terbaik yakni Islam, maka  keadilan akan kita dapatkan. 


Wallaahu a'lam bishshowab

Posting Komentar

 
Top