Ibu dan Bayi Meninggal, Minim Layanan Kesehatan dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Risnawati

 (Pegiat Literasi)


Sungguh tragis! berita memilukan kematian seorang ibu hamil dan bayinya, karena minimnya pelayanan kesehatan di negeri ini. 


Dilansir detikJatim, Surabaya - Nasib tragis menimpa ibu hamil bernama Irene Sokoy usai ditolak empat rumah sakit (RS) di Kabupaten dan Kota Jayapura, Papua. Irene bersama bayi dalam kandungannya meninggal dunia karena telat mendapatkan penanganan medis. Irene Sokoy dan bayinya meninggal dunia pada Senin (17/11) sekitar pukul 05.00 WIT. Keduanya mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan setelah bolak-balik ke sejumlah rumah sakit.

"Apa yang keluarga kami alami adalah hal yang sangat menyakitkan. Kami dari kampung datang minta pertolongan medis, tapi tidak dapat pelayanan yang baik," keluh Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).


Telaah Akar Masalah


Kasus Ibu Irene Sokoy bukan yang pertama dinegeri ini, bahkan berulang kali terjadi kasus penolakan RS pada masyarakat yang tidak mampu. Hal ini menunjukkan penolakan RS terhadap pasien bukti buruknya sistem pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalis sekular. Kasus yang sedang viral ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan secara menyeluruh, bukan hanya sebatas mengaudit rumah sakit yang ada di Provinsi Papua akibat ada kabar viral tolak pasien ibu hamil.


Jika merujuk pada regulasi, seharusnya rumah sakit dilarang menolak pasien dalam kondisi kritis atau darurat. Hal ini sesuai dengan amanat UU 36/2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dalam Pasal 32 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dalam keadaan darurat dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Hal ini juga sebagaimana  bahwa semestinya tidak ada penolakan terhadap pasien, terutama ibu hamil yang perlu mendapat prioritas karena risiko yang dialami. Oleh karena itu, pemerintah menanggung beban biaya untuk masyarakat yang tidak mampu.

Kasus ini menambahkan bukti gagalnya pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme  untuk ke sekian kalinya, sistem ini tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan kehidupan manusia, termasuk persoalan pelayanan kesehatan. Pada masa yang makin modern, bukannya makin mudah, birokrasi kesehatan justru makin rumit bahkan tumpang tindih. Berbagai program membutuhkan beragam persyaratan. Sistem rujukan juga tidak kalah memusingkan.

Walhasil,  pasien yang tidak mampu begitu mudahnya dikorbankan. Empati lebih sering diabaikan bahkan ditumbalkan atas nama selembar surat penanda birokrasi. Tidak jarang penguasa justru mengkhianati pesan undang-undang itu kendati mereka sendiri yang menerbitkannya. Bermacam kebijakan yang lahir pun hanya demi menutupi kerusakan sistem kapitalisme ini dengan mengabaikan tanggung jawab sebagai penguasa yang semestinya mengurusi urusan rakyatnya, termasuk di bidang kesehatan. Nyata sekali, dalam hal ini negara tidak berfungsi sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Negara justru hanya perantara bagi pesnyedia layanan kesehatan untuk dijual kepada rakyatnya. Kasus ibu hamil hanya secuil bukti paradigma sesat kapitalisasi kesehatan.


Jaminan Kesehatan Dalam Islam


Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar publik sehingga Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dan kapitalisasi kesehatan. Islam memberikan amanah kepada negara untuk bertanggung jawab menjamin pemenuhan layanan kebutuhan kesehatan semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Tanggung jawab ini tidak boleh dilalaikan oleh negara sedikit pun karena pelalaiannya akan menimbulkan kemudaratan yang diharamkan dalam Islam. 


Islam juga memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap kesehatan karena kesehatan adalah hal yang penting bagi siapa pun. Islam menempatkan pelayanan kesehatan sebagai hak setiap warga negara


Katena itu, layanan kesehatan dalam sistem kapitalisme jelas tidak sebanding dengan realitas layanan kesehatan dalam sejarah peradaban Islam (Khilafah) yang memiliki perhatian begitu besar bagi pengurusan urusan rakyat. Hal ini karena penguasa Khilafah memahami benar tanggung jawab memerintah dan memimpin, yang tidak lain adalah mengurus dan menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya. 


Model pelayanan kesehatan rumah sakit dimasa sistem penerapan pemerintah Islam dalam naungan Khilafah menunjukkan sangat suatu fenomenal. Pada saat itu terdapat dua macam rumah sakit, yaitu permanen dan yang berpindah-pindah menggunakan kendaraan. Rumah sakit permanen dibangun di tengah kota. 

Hampir di seluruh kota Islam terdapat rumah sakit, sedangkan rumah sakit yang berpindah-pindah diperuntukkan bagi wilayah-wilayah pelosok yang harus menembus padang pasir dan pegunungan. Rumah sakit yang berpindah-pindah ini menggunakan kendaraan yang juga sekaligus mengangkut segala fasilitasnya (dokter, alat kesehatan, dan obat-obatan).


Negara juga memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, kelengkapan alat kesehatan, dan ketersediaan obat untuk semua jenis penyakit yang diproduksi oleh industri farmasi dalam negeri. Jika diperlukan, negara akan menyediakan rumah sakit keliling untuk melayani rakyat di daerah pelosok dan terpencil. Semua rakyat, tanpa membedakan status sosial atau agama, berhak menikmati layanan kesehatan gratis dengan kualitas layanan terbaik. 


Sungguh, tidak ada alasan untuk terus membiarkan penerapan sistem kapitalisme yang telah menyengsarakan rakyat dalam wujud pengabaian penguasa terhadap urusan rakyat. Padahal kesehatan adalah urusan nyawa dan hak hidup setiap manusia. Jelas, tidak ada pilihan lain kecuali segera menegakkan Khilafah yang melayani kebutuhan asasi rakyatnya dengan gratis dan berkualitas terbaik. 


Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (raa’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Wallahu a’lam

Posting Komentar

 
Top