Oleh: Mei Widiati, M.Pd.
Pertemuan Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS), dengan Donald Trump bukanlah pertemuan biasa. Ini bukan sekadar diplomasi ekonomi, bukan pula sekadar investasi triliunan dolar. Ini adalah manuver geopolitik besar yang akan berdampak langsung pada kedaulatan dunia Islam, arah politik Timur Tengah, bahkan masa depan Baitul Haram dan tanah suci kaum Muslimin.
Dua tokoh yang bertemu itu bukan figur sembarangan:
– Donald Trump, simbol negara adidaya yang telah puluhan tahun mengendalikan arsitektur politik dunia Islam.
– MBS, sosok kontroversial yang kini dianggap the real king of Saudi, pengendali kebijakan kerajaan, dan motor modernisasi kontroversial Visi 2030.
Ketika dua kepentingan besar bertemu—adidaya dan penjaga dua tanah suci—maka seluruh umat Islam wajib bertanya: Ini strategi atau tragedi?
Saudi, Trump, dan Penataan Ulang Dunia Islam
Arab Saudi bukan sekadar negara kaya minyak; ia adalah penjaga dua tanah suci, pusat spiritual 2 miliar umat Islam, dan simbol sejarah munculnya Islam. Karena itu setiap perubahan besar dalam kebijakan Saudi akan selalu mengguncang tubuh umat.
Pertemuan MBS–Trump menyentuh tiga isu strategis:
1. Investasi Raksasa, Teknologi, dan Visi 2030: Modernisasi atau Westernisasi?
Investasi senilai 1 triliun dolar bukan angka kecil. Trump membela MBS mati-matian karena uang ini menyelamatkan ekonomi Amerika. Tapi apa imbalannya bagi dunia Islam?
Saudi menginginkan:
– diversifikasi ekonomi dari minyak,
– industri wisata raksasa,
– integrasi teknologi AI dan siber,
– proyek futuristik ala “Silicon Valley versi Timur Tengah”.
Tetapi modernisasi yang dipaksakan telah mengorbankan banyak nilai syar’i: Festival musik internasional di tanah kelahiran Islam, wisata bebas di tengah kota suci, pembukaan hiburan yang melabrak syariah.
Inikah “kemajuan” yang diinginkan? Ataukah ini meniru Barat habis-habisan sampai meninggalkan identitas Islam?
2. Kerja Sama Nuklir: Penguatan Dunia Islam atau Pengawasan Amerika?
Trump membuka pintu kerja sama nuklir dengan Saudi. Sekilas ini tampak seperti peluang: dunia Islam memiliki Pakistan, Iran sedang melawan embargo, dan Saudi berpotensi menjadi pemain besar.
Namun ada jebakan: Semua harus tunduk pada NPT, aturan internasional yang dikendalikan negara-negara pemilik nuklir, agar dunia Islam tetap bergantung dan tidak bisa mandiri dalam teknologi strategis.
Kerja sama nuklir yang “diizinkan” Amerika seringkali hanya untuk energi, bukan kemampuan militer. Maka pertanyaannya: Benarkah ini tambahan kekuatan, atau justru jerat baru untuk menjaga ketergantungan?
3. F-35 dan Status “Major Non-NATO Ally”: Aliansi atau Penjinakan?
Amerika memberi lampu hijau agar Saudi membeli F-35, pesawat paling canggih di dunia. Bahkan status Saudi dinaikkan menjadi Major Non-NATO Ally, sekutu utama non-NATO.
Tapi mari jujur: Apakah senjata canggih ini diberikan agar Saudi bisa membantu Palestina? Atau justru agar mempertahankan stabilitas yang menguntungkan Israel?
Israel saja gerah melihat kemungkinan Saudi memegang F-35. Tapi Amerika senang—karena Saudi akan tetap menjadi konsumen senjata Amerika, bukan produsen yang mandiri secara militer.
Amerika di Timur Tengah: Polisi Dunia atau Dalang Kegaduhan?
Timur Tengah adalah kawasan yang paling banyak diperebutkan kekuatan global. Ia kaya minyak, memiliki titik-titik strategis (Bosporus, Hormus, Babel Mandeb, Suez), dan merupakan pusat sejarah Islam.
Amerika hadir di sana bukan untuk menyebar perdamaian, tapi mempertahankan hegemoni:
– Memaksa berdirinya Israel melalui politik kolonial.
– Menjadikan Israel role model demokrasi ala Barat di tengah dunia Islam.
– Mendorong Abraham Accord agar negara-negara Muslim berdamai dengan penjajah Palestina.
– Menjadikan Saudi sebagai sekutu utama demi mempertahankan cengkeraman di kawasan.
Pertanyaannya: Apakah Arab Saudi sedang dibentuk menjadi “Israel kedua” dalam hal kemesraan dengan Amerika?
Kacamata Islam: Kepemimpinan Bukan Urusan Keluarga, tapi Amanah Allah
Saudi sejak awal adalah “negara keluarga”. Kekuasaan diwariskan, bahkan diubah konstitusinya agar MBS bisa naik.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian… "(HR. Muslim)
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan warisan keluarga. Kebijakan yang menyentuh tanah suci bukan boleh didikte oleh Amerika, tetapi harus mengikuti syariat Allah semata.
Kita Harus Bertanya: Untuk Siapa Kebijakan Ini Semua?
Kemesraan Saudi–Amerika membawa pertanyaan besar:
– Apakah ini untuk menguatkan umat Islam...atau justru melemahkan identitas mereka?
– Apakah ini strategi dunia Islam bangkit…atau strategi adidaya untuk mencengkeram?
– Apakah Visi 2030 membawa kemandirian... atau membawa ketergantungan baru?
Jika Arab Saudi—penjaga dua tanah suci—semakin dekat dengan adidaya yang mendukung penjajahan Israel terhadap Palestina, maka ini bukan lagi diplomasi biasa. Ini potensi tragedi geopolitik bagi dunia Islam.
Umat Islam Harus Melek Geopolitik
Umat Islam tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus membaca tanda-tanda zaman, memahami arah politik global, dan menyadari bahwa dunia Islam tidak akan bangkit jika terus bergantung pada Barat.
Allah mengingatkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۗ
“Dan janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin selain orang mukmin.” (QS. Ali Imran: 28)
Dan Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa kehancuran umat terjadi ketika kepemimpinan jatuh kepada pihak yang tidak amanah.
Maka pertanyaan sangat tepat: “Kemesraan Saudi dan Amerika: strategi atau tragedi?”Jawabannya tergantung umat Islam: apakah kita memilih memandang, atau membaca dan bergerak?
Wallaahu a'lam bishshowab

Posting Komentar