Oleh: Fitriana Putri Ibrahim, S.Pd
Maraknya pembahasan mengenai penertiban siswa laki-laki gemulai di sejumlah daerah mendapat tanggapan dari Duta Pemuda Putra Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Riswan. Ia menyampaikan bahwa karakter gemulai tidak semestinya ditanggapi secara berlebihan, apalagi sampai memicu diskriminasi di tengah Masyarakat. (Katakaltim.com)
Namun faktanya, fenomena laki-laki gemulai saat ini semakin meluas, bahkan telah masuk ke lingkungan sekolah. Kondisi ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, terutama para orang tua dan pendidik. Menanggapi hal tersebut, pemerintah berencana mengambil langkah penanganan dengan alasan perlunya pembinaan terhadap generasi muda.
Sayangnya, rencana ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Sebagian kalangan justru memandang fenomena gemulai bukan sebagai bentuk penyimpangan, sehingga dianggap tidak perlu ditanggapi secara serius. Cara pandang ini menilai bahwa ekspresi tersebut merupakan bagian dari kebebasan individu.
Perbedaan pandangan inilah yang akhirnya membingungkan masyarakat. Lembaga pendidikan yang seharusnya berperan aktif, termasuk guru dan orang tua, tidak memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi fenomena ini. Akibatnya, pembinaan terhadap generasi berjalan tanpa arah dan standar yang tegas.
Kondisi ini merupakan buah dari cara pandang sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipersempit maknanya sebatas ritual ibadah, sementara aspek kehidupan lain seperti pendidikan, sosial, budaya, dan hiburan dianggap tidak berkaitan dengan nilai agama. Dampaknya, remaja kehilangan standar moral yang jelas dalam mengatur batasan perilaku dan ekspresi gender.
Sekolah pun akhirnya tidak memiliki pedoman berbasis nilai agama untuk mengatur perilaku peserta didik. Segala sesuatu dianggap sebagai “hak individu”, tanpa tolok ukur benar atau salah berdasarkan syariat. Negara pun dibatasi perannya, hanya boleh bertindak jika terjadi pelanggaran hukum fisik, bukan pelanggaran moral atau sosial.
Penerapan sistem sekuler inilah yang melahirkan kebebasan berekspresi tanpa batas, kebebasan memilih identitas secara berlebihan, serta kebebasan berperilaku di ruang publik. Di sisi lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga moral masyarakat secara menyeluruh.
Akibatnya, tidak ada aturan yang jelas untuk menangani fenomena penyimpangan fitrah ini. Pembinaan tidak berjalan sistematis, kurikulum pendidikan tidak berbasis nilai agama, dan tidak ada sanksi yang tegas serta mendidik terhadap perilaku yang menyimpang dari fitrah manusia.
Islam memiliki pandangan yang jelas terkait identitas laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, identitas gender merupakan bagian dari fitrah manusia yang wajib dijaga. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan ketegasan Islam dalam menjaga fitrah, bukan untuk membenci individu, melainkan untuk mencegah kerusakan fitrah dan kekacauan peran dalam kehidupan masyarakat.
Pembinaan fitrah sejatinya dimulai dari keluarga. Keluarga memiliki peran utama dalam menanamkan identitas sejak dini, mengarahkan pergaulan anak, serta mengawasi konsumsi digital agar tidak terpapar konten yang mendorong penyimpangan, terutama di media sosial.
Masyarakat juga berperan penting dengan menciptakan lingkungan sosial yang sehat, tidak memberikan panggung atau normalisasi terhadap perilaku menyimpang, serta menegakkan budaya amar makruf nahi mungkar secara santun dan bertanggung jawab.
Namun, peran paling menentukan tetap berada di tangan negara. Negara memiliki kewenangan untuk mengendalikan arus informasi dan budaya, termasuk memblokir konten yang mempromosikan feminisasi laki-laki, humor lintas gender yang merusak, serta gaya hidup hedonis. Sebaliknya, negara juga harus membuka ruang luas bagi konten yang positif dan mendidik.
Di bidang pendidikan, negara dapat menetapkan kurikulum berbasis akidah dan akhlak. Sementara di bidang hukum, negara memberikan sanksi yang tegas namun mendidik bagi pelaku penyimpangan yang enggan memperbaiki diri, sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat dan generasi.
Islam menawarkan solusi yang utuh dan menyeluruh, bukan hanya pada level individu, keluarga, dan masyarakat, tetapi juga pada level negara. Dengan menjadikan akidah Islam sebagai dasar pengaturan, pembinaan fitrah dapat dilakukan secara sistematis melalui:
• pendidikan berbasis akidah dan akhlak,
• regulasi budaya dan media yang menjaga moral,
• serta sanksi yang menertibkan perilaku menyimpang.
Tanpa negara yang berlandaskan Islam, upaya pembinaan remaja hanya menjadi langkah kecil di tengah arus budaya besar yang bertentangan dengan fitrah. Oleh karena itu, solusi Islam bukan sekadar larangan atau nasihat, melainkan pembangunan sistem yang menjaga fitrah manusia secara menyeluruh.
Dengan sistem inilah generasi muda akan tumbuh sebagai generasi yang kuat, berakhlak mulia, dan selaras dengan fitrah yang telah Allah tetapkan. Wallahu’alam

Posting Komentar