Oleh. apt. Noviana Irawaty, S.Si.
(Aktivis Muslimah)
Banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra pada akhir November 2025 bukanlah musibah mendadak. Ia adalah hasil proyek panjang kapitalisme yang merusak ruang hidup.
Musibah yang menghantam berbagai wilayah di Sumatra (Aceh, Sumut, dan Sumbar) seharusnya menjadi pukulan keras bagi negeri ini. Setiap tahun pola yang sama berulang: hujan ekstrem turun, sungai meluap, tebing runtuh, rumah dan fasum hancur tersapu, anak-anak hanyut, orang dewasa pun tak luput dari maut, hingga ribuan keluarga harus kehilangan segalanya. Tetapi respons negara dan sistem pengelolaan wilayah? Tidak pernah benar-benar berubah.
Per 9 Desember 2025 — tercatat 964 orang meninggal, 264 hilang, dan 894.101 orang mengungsi (liputan6.com, 9/12/2025). Data korban (meninggal, hilang, mengungsi) masih berubah setiap hari, seiring tim SAR dan evakuasi terus bekerja. Estimasi biaya kerusakan (51,8 triliun rupiah) merupakan proyeksi awal — bisa meningkat jika kerusakan lebih luas dari perkiraan, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto (jpnn.com, 8/12/2025).
Pertanyaannya sederhana: apakah ini murni bencana alam? Masalahnya, bencana ini bukan musibah dadakan, melainkan bom waktu yang sudah dirakit pelan-pelan oleh kapitalisme selama 30 tahun terakhir. Dia adalah bencana sistemik akibat tata kelola ruang yang rusak, pengawasan hutan yang lemah, deforestasi, serta kebijakan ekonomi yang memberi karpet merah bagi eksploitasi? Di sinilah pentingnya melihat bencana bukan sekadar sebagai peristiwa alam, tetapi sebagai cermin ideologi yang berkuasa.
*Bencana sebagai Produk Sistem, Bukan Cuaca*
Definisi modern bencana menegaskan bahwa bencana terjadi karena interaksi antara bahaya alam dan kerentanan manusia. Artinya, banjir bandang bisa berubah menjadi tragedi ketika hutan digunduli untuk konsesi, gunung dikeruk menjadi lahan tambang dan kebun sawit, sungai dipersempit demi proyek ekonomi, drainase kota tak pernah dibenahi, dan masyarakat dibiarkan tinggal di lereng rawan longsor. Dengan kata lain, yang menciptakan kerentanan bukanlah hujan, melainkan kebijakan.
Dan selama kebijakan itu dihasilkan oleh sistem yang menempatkan ekonomi sebagai kompas moral, bukan syariat yang melarang kerusakan (la dharar wa la dhirar), maka bencana bukan hanya akan datang, tetapi pasti berulang.
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dalam portal Fissilmi Kaffah, KH Shiddiq Al-Jawi menyatakan bahwa makna hadis tersebut adalah “tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain”.
*Mengapa Sistem Kapitalisme Saat Ini Gagal Melindungi Rakyat?*
Pertama, karena orientasinya ekonomi, bukan perlindungan jiwa. Pengelolaan hutan, air, dan tanah tunduk pada skema investasi, konsesi, dan izin usaha. Ketika keputusan diarahkan oleh kepentingan korporasi, bukan prinsip menjaga kemaslahatan umum, maka kerentanan menjadi konsekuensi logis.
Negara tidak memandang hutan dan wilayah rawan bencana sebagai amanah yang wajib dijaga, melainkan sebagai aset ekonomi yang bisa disewa, dijual, atau diserahkan pengelolaannya kepada swasta.
Kedua, birokrasi sangat lamban. Saat banjir bandang terjadi, keputusan bantuan harus melewati meja-meja politik, koordinasi antara kementerian, hingga persoalan tender logistik. Korban terjebak di antara tumpukan regulasi saat air terus naik.
Dalam posisi ini, kita harus mencari alternatif pengganti yang sahih. Ia adalah konsep tata kelola berbasis syariat — lahir dari wahyu ilahi, bukan buatan manusia. Konsep ini telah lama hilang dari percakapan publik karena ditutupi Barat.
*Bagaimana Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Mengelola Bencana?*
Dalam literatur fikih siyasah yang disusun ulama seperti Imam Al-Mawardi, Ibn Khaldun, Abu Yusuf, dan lainnya, pemerintah ditugaskan untuk mengurus rakyat, menjaga keamanan mereka, memastikan keadilan, serta melindungi nyawa dan harta. Termasuk dari bencana alam.
Kerangka penanganannya dapat dilihat dalam tiga tahap: pencegahan, respons cepat, dan pemulihan menyeluruh.
Pertama, pencegahan: negara akan membangun bendungan dan waduk sebelum air meluap. Dalam paradigma syariat, wilayah publik seperti hutan, sungai, mata air, lembah, dan bukit termasuk milkiyyah ‘ammah—kepemilikan umum— haram diserahkan kepada swasta untuk dieksploitasi. Negara menjadi penjaga dan pengelola, bukan pedagang.
Konsekuensinya: hutan lindung tidak boleh dibabat kecuali untuk kemaslahatan umum yang jelas. Reboisasi bukan proyek, tetapi kewajiban. Zona rawan longsor tidak boleh diisi permukiman tanpa rekayasa teknik yang kuat. Analisis risiko bencana menjadi bagian dari regulasi tata ruang. Dengan prinsip ini, akar masalah—yakni kerusakan ekologi yang menimbulkan kerentanan—dapat dicegah sejak awal.
Kedua, respons darurat: cepat, terpusat, dan tanpa drama politik. Sejarah mencatat bahwa ketika bencana terjadi, Daulah Khilafah menggerakkan aparat keamanan, logistik baitulmal, dan para amil tanpa menunggu sidang politik atau tender panjang. Karena perlindungan jiwa merupakan salah satu bentuk dhoruriyyat yang tidak boleh ditunda.
Dalam model ini: pasukan khusus penyelamatan digerakkan seketika. Evakuasi korban secepatnya ke pengungsian layak. Penyediaan dapur umum, tenda, pakaian, obat-obatan, logistik, dan layanan kesehatan. Pembukaan akses jalan dan komunikasi. Evakuasi terpusat dan tenaga medis disebar tanpa birokrasi. Tenaga ahli dikerahkan untuk menangani recovery trauma, rehabilitasi psikologis, dan pemulihan spiritual korban.
Keputusan bersifat tunggal, jelas, dan cepat—menghindari saling lempar tanggung jawab. Respons cepat bukan soal teknologi canggih, tetapi soal tanggung jawab pemimpin untuk memprioritaskan nyawa rakyat di atas segalanya.
Ketiga, pemulihan jangka panjang: negara tidak membiarkan rakyat bertahan sendiri. Salah satu ciri khas tata kelola berbasis syariat adalah jaminan hidup pascabencana. Korban tidak dibiarkan berebut bantuan atau berjuang sendirian. Negara berkewajiban memberikan santunan dari baitulmal, menyediakan hunian layak sementara, menjamin kebutuhan dasar keluarga korban, membangun ulang fasilitas umum, jalan, rumah sakit, masjid, jembatan, dan sekolah. Negara menciptakan lapangan kerja baru pascabencana. Negara juga akan mengatur relokasi ke wilayah aman jika daerah lama berbahaya. Pemulihan ini tidak bersifat kosmetik, tetapi struktural. Negara memastikan masyarakat bangkit sepenuhnya, bukan hanya “survive”.
*Mitigasi Banjir pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Harun al-Rasyid*
Mitigasi bencana bukanlah konsep modern. Pada masa peradaban Islam, para khalifah sudah menerapkan langkah-langkah struktural dan administratif untuk mencegah kerusakan akibat banjir. Dua sosok yang kerap dicatat sejarah dalam pengelolaan air adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah dan Khalifah Harun al-Rasyid dari Bani Abbasiyah.
Dalam Tarikh Ath-Thabari, Siyar A’lam al-Nubala’, dan kitab ulama lainnya, pada masa Kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz (717–720 M) dikenal karena kebijakan administratifnya yang menekan risiko banjir di wilayah Syam dan Hijaz. Ia menginstruksikan perbaikan bendungan-bendungan kecil dan saluran air yang rusak akibat banjir musiman, termasuk membiayai pemeliharaan dengan dana baitulmal, bukan membebankan ke rakyat. Umar juga menertibkan penggunaan lahan di hulu—melarang penebangan liar dan memerintahkan perlindungan kawasan resapan (hima)—sehingga aliran air hujan tidak langsung menggerus lereng dan memicu longsor atau banjir cepat. Kebijakannya menekankan pencegahan jangka panjang: memperbaiki lingkungan, menjaga tutupan lahan, dan memastikan infrastruktur air dirawat berkala.
Sementara itu, dalam Tarikh Ath-Thabari, Muruj Adz-Dzahabi, Al-Kharaj, dan kitab ulama lainnya, pada masa Kekhilafahan Harun al-Rasyid (786–809 M), Baghdad sering terancam luapan Sungai Tigris dan Diyala. Untuk menahan potensi banjir besar, ia memerintahkan restorasi total terhadap Sistem Kanal Nahrawan—mega-infrastruktur yang mengalirkan air puluhan kilometer dari sungai menuju kolam retensi. Di bawah perintahnya, kanal dikeruk ulang, tanggul diperbaiki, dan pintu-pintu air dibuat agar limpasan dapat dialihkan ke wilayah penampung. Upaya ini bukan hanya menjaga kota dari banjir bandang, tetapi juga menstabilkan suplai pangan bagi penduduk ibu kota kekhalifahan.
Dua contoh ini menunjukkan bahwa mitigasi bencana dalam tradisi pemerintahan Islam mencakup dua sisi sekaligus: rekayasa teknik untuk mengendalikan limpasan air, dan tata kelola lingkungan yang menjaga hulu serta distribusi air. Pendekatan terintegrasi seperti inilah yang membuat beberapa kota besar pada masa itu mampu berdiri stabil di tengah risiko banjir yang tinggi.
*Mitigasi Longsor Gunung Uhud – Masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin*
Meskipun tidak terjadi bencana besar, bukit-bukit di sekitar Madinah rawan keruntuhan tebing. Mitigasi yang dilakukan Rasulullah, yang kemudian dilanjutkan khalifah penganti beliau adalah sebagai berikut;
Pertama, larangan menambang atau menggali batu di sisi rawan longsor. Direkam dalam atsar sahabat, karena beberapa lereng Uhud tidak stabil.
Kedua, penguatan tanah (sejenis talud sederhana). Dilakukan saat memperluas kota Madinah di masa Utsman—untuk mencegah _run-off_ (limpasan permukaan) deras dari lereng Uhud masuk ke pemukiman.
Demikianlah pengaturan urusan umat selalu diperhatikan dengan baik oleh Rasulullah dan para Khalifah setelahnya. Pemimpin sejatinya pelayan umat, bukan dilayani umat. Balasan bagi pemimpin yang adil dan bijak adalah dimudahkan urusan dunia dan akhirat, mendapat naungan Allah pada hari kiamat, diringankan hisabnya, dan mendapat derajat yang tinggi di surga.
*Penutup: Alam Menguji, Sistem Menentukan*
Hujan memang turun dari langit, tetapi kerentanan diciptakan oleh tangan manusia. Banjir mungkin tak dapat dicegah sepenuhnya, tetapi tragedi kemanusiaan dapat diminimalkan bila negara berdiri sebagai penjaga, bukan pedagang kepentingan.
Pada akhirnya, bukan air bah yang paling berbahaya, tetapi sistem “kapitalisme” yang membiarkan rakyat hanyut tanpa perubahan berarti. Air bah bisa surut. Namun, yang sulit surut adalah kerusakan sistem yang melahirkannya, kecuali kita kembali pada tata kelola berbasis wahyu. Syariat Islam kafah dalam naungan Daulah Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar